SAP 2 Dasar-Dasar Syariah Marketing
Nama :
Aurina Lestari
NPM :
31214846
Kelas : 2DD02
Matkul : Pemasaran Usaha Syariah
SAP 2
Dasar-Dasar Syariah
Marketing
Dari Era Rasional ke Emosional ke Spiritual
Banyak orang mengatakan, pasar syariah adalah pasar
yang emosional (emotional market), sedangkan pasar konvensional adalah pasar
yang rasional (rational market). Maksudnya, orang tertarik untuk berbisnis pada
pasar syariah karena alasan-alasan keagamaan (dalam hal ini agama Islam) yang
bersifat emosional, bukan karena ingin mendapatkan keuntungan finansial yang
bersifat rasional. Sebaliknya, pasar konvensional atau non syariah, orang ingin
mendapatkan keuntungan finansial sebesar-besarnya, tanpa terlalu peduli apakah
bisnis yang digelutinya tersebut mungkin menyimpang atau malah bertentangan
dengan ajaran agama Islam.
Pendapat seorang praktisi perbankan syariah
dikotomi pasar emosional dan pasar rasional, Budi Wisakseno. Beliau yang
merupakan mantan Direksi Bank Muamalat indonesia dan saat buku ini ditulis
menjabat sebagai Direktur Utama Bank Syariah Mega Indonesia, mengatakan bahwa
pemahaman dikotomi antara nasabah rasional dan nasabah emosional adalah keliru.
Cara berfikir seperti itu, katanya, dilandasi oleh teori pemasaran konvensional
yang berpaham sekuler; segala hal yang berlandaskan cara berfikir keagamaan
serta-merta akan dianggap sebagai sesuatu yang tidak rasional.
Ketika seorang nasabah rasional
mendapatkan informasi bahwa suku bunga perbankan (konvensional) sedang tinggi,
ia menarik dananya di bank syariah dan memindahkannya ke bank konvensional.
Teori pemesaran konvensional mengatakan ini adalah sikap yang rasional karena
dia mencoba menghindar dari situasi yang kurang menguntungkan. Namun,
sebenarnya ini juga bisa dikatakan cara berfikir emosional, karena hanya
mempertimbangkan keuntungan dunia, tetapi mengabaikan keuntungan akhirat.
Sebaliknya, seorang nasabah yang-menurut
sebagian pihak-emosional karena mengedepankan nilai-nilai ajaran agamanya
(Islam) dalam setiap pengambilan keputusan investasi, sebenarnya mempunyai dua
perspektif waktu. Pertama, perspektif waktu sekarang, yaitu ketika ia masih
hidup di dunia. Kedua, perspektif waktu setelah mati, yaitu periode sejak
nasabah meninggal atau kehidupan alam kubur sampai dengan waktu saat manusia
akan dihitung amal baik dan buruknya selama hidup di dunia (dihisab).
Adanya perspektif waktu setelah mati pada
nasabah Muslim ini dapat menjelaskan mengapa seorang nasabah bank syariah bahka
bisa menerima keuntungan yang nilainya lebih kecil sepanjang hal itu halal.
Memang, praktik bisnis dan pemasaran
sebenarnya bergeser dan mengalami transformasi dari level intelektual
(rasional), ke emosional, dan akhirnya ke spiritual. Pada akhiirnya, konsumen
akan mempertimbangkan kesesuaian produk dan jasa terhadap nilai-nilai spiritual
yang diyakininya. Di level intelektual, pemasaran memang menjadi seperti
“robot” dengan mengandalkan kekuatan logika dan konsep-konsep keilmuan.
Di level intelektual (rasional), pemasar
menyikapi pemasaran secara fungsional-teknikal dengan menggunakan sejumlah
tools pemasaran, seperti segmentasi, targeting, positioning, marketing-mix, branding,
dan sebagainya. Kemudian, di level emosional, kemampuan pemasar dalam memahami
emosi dan perasaan pelanggan menjadi penting. Di sini pelanggan dilihat sebagai
manusia seutuhnya, lengkap dengan emosi dan perasaannya. Jika di level
intelektual otakl kiri si pemasar paling berperan, di level emosional otak
kananlah yang lebih dominan. Jika di level intelektual pemasaran layaknya “robot”,
di level emosional pemasaran menjadi seperti “manusia” yang berperasaan
empatik. Beberapa konsep pemasaran yang ada pada level emosional ini antara
lain experiental marketing dan emotional branding.
Namun, di masa kini dan di masa datang, apalagi
setelah pecahnya skandal keuangan di Amerika Serikat dengan tumbangnya
perusahaan-perusahaan raksasa, seperti enron, WordCom, atau Global Crossing,
era pemasaran telah bergeser lagi ke arah spiritual marketing.
Di level spiritual ini, pemasaran sudah
disikapi sebagai “bisikan nurani” dan “panggilan jiwa” (“calling”). Di
sini praktik pemasaran dikembalikan kepada fungsinya yang hakiki dan dijalankan
dengan moralitas yang kental. Prinsip-prinsip kejujuran, empati, cinta, dan
kepedulian terhadap sesama manjadi dominan.
Jika di level intelektual bahasa yang digunakan
adalah “bahasa logika” dan di level emosional adalah “bahasa rasa”, maka di
level spiritual digunakan “bahasa hati”. Kata hati nurani adalah lentera
penerang yang akan menunjukkan ke mana arah yang akan dituju. Nurani adalah
“senjata pamungkas” Anda untuk memenangkan persaingan.
Kasus runtuhnya sejumlah perusahaan di atas
menunjukkan bahwa sehebat apapun strategi bisnis Anda, secanggih apa pun tools
pemasaran yang Anda jalankan, semuanya tak akan ada gunanya kalau tidak
dilandasi nilai-nilai spiritual yang kokoh. Kasus manipulasi akuntansi terbesar
dalam kegiatan dalam sejarah bisnis Amerika Serikat tersebut menunjukan betapa
semakin tingginya kompleksitas bisnis, semakin canggihnya tools manajemen, dan
semakin majunya perangkat regulasi ternyata tidak menjadikan praktik bisnis
menjadi semakin dewasa dan beradab. Justru sebaliknya, ia semakin kebablasan
tanpa etika, tanpa nilai-nilai moral, dan tanpa pegangan.
Bumi sudah menjadi renta, carut-marut, dan
dan amburadul akibat ulah manusia. Namun, manusia-manusia itu sendiri agaknya
masih saja sama, masih enggan bertobat dan kurang menyesali kesalahannya, kata
Andrias Harefa dalam buku Kepemimpinan Kristiani.2
Praktik bisnis sakit yang selama puluhan tahun
melingkupi keseharian kita semakin menyadarkan kita bahwa kejujuran, etika, dan
moral dalam suatu bisnis menjadi suatu keharusan. Pada lingkungan bisnis yang
tidak jarang mengabaikan etika, kejujuran merupakan resource yang semakin
langka bagi perusahaan. Dan tak hanya langka, ia merupakan resource yang bisa
di-leverage menjadi komponen penting daya saing suatu perusahaan. Dari sinilah,
kemudian muncul paradigma baru dalam pemasaran, yan dilandasi oleh kebutuhan
yang paling dasar, yaitu kejujuran, moral, dan etika dalam bisnis. Inilah
spiritual marketing.
Spiritual marketing merupakan tingkatan
tertinggi. Orang tidak semata-mata menghitung lagi untung atau rugi, tidak
terpengaruh lagi dengan hal-hal yang bersifat duniawi. Panggilan jiwalah yang
mendorongnya, karena di dalamnya mengandung nilai-nilai spiritual. Spiritual
dalam pengertian Kristiani, mungkin seperti yang dikatakan Robelt L. Wise dalam
bukunya, Spiritual Abundance3, ..sesuatu yang tidak bisa saya lihat
dengan mata saya, dan hanya bisa saya rasakan dalam hati saya, atau sesuatu
yang seperti itu.”
Dalam bahasa syariah, spiritual marketing
adalah tingkatan “pemasaran langit”, yang karena di dalam keseluruhan prosesnya
tidak ada yang bertentangan dengan prinsip-prinsip muamalah (bisnis syariah), ia
mengandung nilai-nilai ibadah, yang menjadikannya berada pada puncak tertinggi
dalam pemasaran atau muamalah. Hal ini adalah refleksi dari ikrar seorang
Muslim ketika ia beribadah, “Qul inna shalati wanusuki wamahyaya wamamati
lillahi rabbil ‘alamin” (Ya Allah, aku berikrar, sesungguhnya shalatku,
ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah semata.”4
Seorang muslim yang baik, dalam transaksi
muamalahnya-dalam hal ini pemasaran baik sebagai pemimpin perusahaan, pemilik,
pemasar, pesaing, maupun sebagai pelanggan-hendaklah prinsip-prinsip keadilan,
kejujuran, transparansi, etika, dan moralitas menjadi nafas dalam setiap bentuk
transaksi bisnisnya. Karena itu, bagi seorang Muslim, setiap hari jumat di
masjid, ia selalu diingatkan khatib dalam penutupan khutbahnya, agar senantiasa
berbuat adil ketika melakukan transaksi bisnis, senantiasa jujur, dan berbuat
baik kepada siapa saja, keluarga maupun orang lain, menghindari
perbuatan-perbuatan tercela, apalagi permusuhan, baik dalam pergaulan bisnis
maupun bermasyarakat secara umum.
Spiritual sebagai Jiwa Bisnis Pemasaran
Nilai-nilai spiritual pada dasarnya tidak hanya
ada di masjid atau di tempat-tempat peribadatan lainnya tapi seharusnya menjadi
napas dalam kehidupan kita sehari-hari termasuk dalam dunia bisnis. Menurut M.
Syafi’i Antonio, konsep keadilan dalam Islam berimplikasi pada keadilan sosial
dan keadilan ekonomi (praktik bisnis). Dalam konteksnya sebagai keadilan
sosial, Islam menganggap umat manusia sebagai satu keluarga yang mempunyai
derajat yang sama di hadapan Allah, walaupun berbeda warna kulit, bahasa,
maupun berbeda keadaan ekonominya, karena yang membedakannya di mata Allah
hanyalah tingkat ketakwaannya saja. Sedangkan keadilan ekonomi menurut Syafi’i
Antonio, adalah konsep persaudaraan dan perlakuan yang sama bagi setiap
individu dalam masyarakat dan di hadapan hukum harus diimbangi dengan keadilan
ekonomi. Dengan keadilan ekonomi, setiap individu akan mendapatkan haknya
sesuai dengan kontribusi masing-masing kepada masyarakat. Jadi, setiap individu
harus terbebas dari eksploitasi individu lain, karena Islam melarang dengan
tegas seorang muslim menzholimi atau merugikan orang lain, seperti firman Allah
dalam surat Asy Syu’araa’(26) ayat 183 berikut ini :
“Dan janganlah
kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka
bumi dengan membuat kerusakan.”
Kaitannya dengan pesaing, hal itu bukanlah
musuh dalam spiritual marketing, justru spiritual marketing menjunjung tinggi
nilai-nilai moral dan selalu memelihara hubungan baik dengan mitra maupun
pesaing. Persaingan adalah hal yang baik karena turut membesarkan pasar.
Dengan menerapkan nilai-nilai spiritual dalam
berbisnis akan meluruskan praktik-praktik yang menyimpang seperti kecurangan,
kebohongan, propaganda, iklan palsu, penipuan, kezaliman, dan sebagainya.
Jadi, spiritual marketing adalah
bentuk pemasaran yang dijiwai nilai-nilai spiritual dalam segala proses dan
transaksinya, sehingga pada suatu tingkat dimana semua stakeholders utama
dalam bisnis (pelanggan, karyawan, pemegang saham), pemasok, distributor, dan
bahkan pesaing pun memperoleh kebahagiaan. Lebih dari itu, spiritual marketing
bagi seorang muslim juga mengandung nilai-nilai ibadah yang diyakini akan
dibalas dengan pahala di akhirat kelak.
Karakteristik dalam Pemasaran Syariah
Terdapat 4 karakteristik seorang syariah
marketer dalamSyariah Marketing yang dapat menjadi panduan
bagi para pemasar, yaitu:
1. Teistis
(Robbaniyyah)
Merupakan sifat ketuhanan yang berangkat dari
kesadaran akan nilai-nilai religius yang dipandang penting dan mewarnai
aktivitas pemasaran agar tidak terperosok ke dalam perbuatan yang dapat
merugikan orang lain. Seorang syariah marketer meyakini bahwa
Allah selalu dekat dan mengawasinya ketika sedang melakukan macam bentuk bisnis
dan yakin pula bahwa di akhirat nanti Allah akan meminta pertanggungjawaban dan
memberi balasan atas apa yang sudah dilakukannya selama di dunia, seperti
firman Allah berikut ini:
“Barangsiapa yang
mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya,
dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan
melihat (balasan)nya pula”.
Intinya, seorang syariah marketer harus
menempatkan kebesaran Allah di atas segala-galanya.
2. Etis (Akhlaqiyyah)
Karakteristik ini sebenarnya merupakan turunan
dari sifat Teistis yang sangat mengedepankan masalah akhlak (moral dan etika)
dalam seluruh aspek kegiatannya. Nilai-nilai moral dan etika adalah nilai yang
bersifat universal dan diajarkan oleh semua agama.
3. Realistis (al-
waqi’iyyah)
Syariah marketer bukanlah berarti para pemasar itu harus
berpenampilan ala bangsa Arab dan mengharamkan dasi karena dianggap merupakan
symbol masyarakat barat tetapisyariah marketer adalah pemasar
professional yang berpenampilan bersih, rapi, dan bersahaja serta mengedepankan
nilai-nilai religius, kesholehan, aspek moral dan kejujuran dalam segala
aktivitas pemasarannya. Memiliki sifat yang tidak kaku, tidak eksklusif, tetapi
sangat fleksibel dan luwes serta mudah bergaul.
4. Humanistis
(Insaniyyah)
Karakteristik ini merupakan prinsip ukhuwah
insaniyyah (persaudaraan antarmanusia). Islam tidak membeda-bedakan
manusia dari asal daerahnya, warna kulit, maupun status sosialnya, justru Islam
mengarahkan seruannya kepada seluruh umat manusia, itu kenapa Islam merupakanRahmatan
lil’alamiin. Jadi, dalam hal menjalankan bisnis, seorang syariah
marketer juga harus memiliki sikap perduli terhadap sesama.
Komentar
Posting Komentar